Type something and hit enter

Posted by On

Contoh Puisi Balada Terkenal oleh WS Rendra, Wiji Thukul dan penyair lainnya. Balada adalah puisi yang berisi cerita yang diberi efek nyanyian. Puisi balada memuat dialog untuk mengisahkan sebuah cerita. Puisi balada pada umumnya berisi cerita tragedi atau kisah heroik.


Balada adalah jenis puisi yang bercerita tentang orang-orang perkasa maupun tokoh pujaan. Salah satu contoh puisi balada pernah ditulis oleh W.S. Rendra yang berjudul Balada Orang-Orang Tercinta.


Menurut (Waluyo, 1987:135) Puisi balada merupakan puisi yang berisi cerita tentang orang-orang perkasa, tokoh pujaan, atau orang-orang yang menjadi pusat perhatian.


Salah satu penyair yang banyak menuliskan puisi balada di Indonesia adalah W.S. Rendra. Kebanyakan puisi baladanya tergolong sangat panjang, seperti Balada Sumilah, Balada Terbunuhnya Atmo Karpo, dan lain-lain yang dapat dibaca dalam kumpulan puisinya Balada Orang-Orang Tercinta dan Blues untuk Bonnie.


Puisi balada ini puisi yang dirangkai dengan kata-kata indah dan bermakna karena di dalamnya terkandung diksi, majas, rima, dan irama yang berisi sebuah kisah maupun cerita. Puisi balada ini terdiri dari tiga bait, delapan larik yang bersajak a-b-a-b-b-c-b-c.


Karakteristik balada adalah:

  • Dipergunakan dialog dalam pengisahan cerita
  • Kuatnya aspek repitis bunyi yang terwujud dalam bentuk rima dan irama
  • Adanya unsur refrein sebagaimana halnya dalam nyanyian.


Kumpulan Puisi Balada Lengkap

contoh puisi balada


Simak contoh puisi balada berikut.


1. Derita Anak Bangsa 

(Ainun Qolbi S.R, Surabaya)


Ia mengayuh sepedanya

Ia mengayuh semangatnya

Menjual koran di pagi hari

Panasnya matahari, dinginnya hujan

Tak ia rasakan

Ia sampai putus sekolah

Cita-cita tak lagi ia gantungkan

Hanya ada satu kewajiban 

Menjual koran, mencari makan


2. Balada Terbunuhnya Atma Karpo

(W.S. Rendra)


Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi

Bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya di

pucuk-pucuk para

Mengepit kuat-kuat lutut menunggang perampok yang

diburu

Surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang

Segenap warga desa mengepung hutan itu

Dalam satu pusaran pulang balik Atmo Karpo

Mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang

Berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri


Satu demi satu yang maju terhadap darahnya

Penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka


Nyawamu barang pasar, hai orang-orang bebal!

Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang papa.

Majulah Joko Pandan! Di mana ia?

Majulah ia kerna padanya kukandung dosa.


Anak panah empat arah dan musuh tiga silang

Atmo Karpo tegak, luka tujuh liang.


Joko Pandan! Di mana ia!

Hanya padanya seorang kukandung dosa.

Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan

Segala menyibak bagi derapnya kuda hitam


Ridla dada bagi derunya dendam yang tiba.

Pada langkah pertama keduanya sama baja.

Pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo

Panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak

angsoka.


Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka

Pesta bulan, sorak-sorai, anggur darah


Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang

Ia telah membunuh bapanya.


3. Balada Anak Kecil

(Al Rasyid, 2006)


seorang anak kecil

menemukan sepotong kuping di pematang sawah

ia tersenyum, lalu terbahak

lalat-lalat mengutuknya


seorang anak kecil

menemukan sepotong lidah di pantai

ia terkekeh-kekeh, lalu menggerutu

"lidah ini punya orang gila"

seorang anak kecil

melolong panjang di malam buta

kala saksikan ibunya digasak pria

yang bukan ayahnya

seorang anak kecil 

menatap saja

kala ayahnya diseret paksa 

dibawa entah ke mana


seorang anak kecil

bercerita pada temannya

"ayahku," kata orang, "masuk sorga"

aha, girangnya tak kentara


seorang anak kecil

yang lolos dari kawalan kakeknya

mengencingi pusara-pusara


seorang anak kecil 

mendesah di telinga neneknya:

"nek, mengapa termenung saja?"


4. Balada Orang-orang Tercinta

(W.S. Rendra)


Kita bergantian menghirup asam

Batuk dan lemas terceruk

Marah dan terbaret-baret

Cinta membuat kita bertahan

dengan secuil redup harapan


Kita berjalan terseok-seok

Mengira lelah akan hilang

di ujung terowongan yang terang

Namun cinta tidak membawa kita

memahami satu sama lain


Kadang kita merasa beruntung

Namun harusnya kita merenung

Akankah kita sampai di altar

Dengan berlari terpatah-patah

Mengapa cinta tak mengajari kita

Untuk berhenti berpura-pura?


Kita meleleh dan tergerus

Serut-serut sinar matahari

Sementara kita sudah lupa

rasanya mengalir bersama kehidupan

Melupakan hal-hal kecil

yang dulu termaafkan


Mengapa kita saling menyembunyikan 

Mengapa marah dengan keadaan?

Mengapa lari ketika sesuatu

membengkak jika dibiarkan?

Kita percaya pada cinta

Yang borok dan tak sederhana

Kita tertangkap jatuh terperangkap

Dalam balada orang-orang tercinta


5. Balada Laki-Laki Tanah Kapur

(W.S. Rendra)


Mendatang derap kuda

dan angin bernyanyi:

Kan kusadap darah lelaki

terbuka guci-guci dada baja

bagai pedagang anggur dermawan


Lelaki-lelaki rebah di jalanan

lambung terbuka dengan geram serigala!

O, bulu dada yang riap!

Kebun anggur yang sedap!


Lurah Kudo Seto

bagai tembresi bergetah

dengan tenang menapak

seluruh tubuhnya merah 


6. Paman Berkostum Pelangi

(Luthfiah Zahra, 2002)


Siang ini datanglah seorang berkostum pelangi

Di depan rumahku sambil menari

Memakai rambut palsu warna merah hati

Memutarkan musik dangdut terkini


Ku dekati sambil melambaikan jari

Ibu datang menghampiri

Memberi uang lalu ia pun hendak pergi

Sebelum pergi ia memberiku gulali


Hatiku senang sekali 

Ku berharap bertemu kembali

Agar mendapatkan gulali kedua kali

Ku ucapkan sampai nanti

Paman badut baik hati


7. Balada Ibu yang dibunuh

Karya: W.S. Rendra


Ibu musang di lindung pohon tua meliang

Bayinya dua ditinggal mati lakinya.


Bualan sabit terkait malam memberita datangnya

Waktu makan bayi-bayinya mungil sayang.


Matanya berkata pamitan, bertolaklah ia

Dirasukinya dusun-dusun, semak-semak, taruhan harian atas nyawa.


Burung kolik menyanyikan berita panas dendam warga desa


Menggetari ujung bulu-bulunya tapi dikibaskannya juga.


Membubung juga nyanyi kolik sampai mati tiba-tiba

Oleh lengking pekik yang lebih menggigitkan pucuk-pucuk daun

Tertangkap musang betina dibunuh esok harinya.


Tiada pulang ia yang mesti rampas rejeki hariannya

Ibu yang baik, matinya baik, pada bangkainya gugur pula dedaun tua.


Tiada tahu akan meraplah kolik meratap juga

Dan bayi-bayinya bertanya akan bunda pada angin tenggara


Lalu satu ketika di pohon tua meliang

Matilah anak-anak musang, mati dua-duanya.


Dan jalannya semua peristiwa

Tanpa dukungan satu dosa, tanpa.


8. Balada Pembungkus Tempe

Karya: W.S. Rendra


Fermentasi asa

Mengharap sempurna

Bentuk utuh nan konyol

Rasa, karsa tempe


Pembungkus yang berjasa

Penuh kisah bertulis duka lara

Dibuang tanpa dibaca


Pembungkus tempe

Bukan plastik tapi kertas usang tak terpakai

Masihkah ada yang membelai sebelum membuangnya?


9. Jante Arkidam

Karya: Ajip Rosidi


Sepasang mata biji saga

Tajam tangannya lelancip gobang

Berebahan tubuh-tubuh lalang dia tebang

Arkidam, Jante Arkidam


Dinding tembok hanyalah tabir embun

Lunak besi dilengkungkannya

Tubuhnya lolos di tiap liang sinar

Arkidam, Jante Arkidam


Di penjudian di peralatan

Hanyalah satu jagoan

Arkidam, Jante Arkidam


Malam berudara tuba

Jante merajai kegelapan

Disibaknya ruji besi pegadean


Malam berudara lembut

Jante merajai kalangan ronggeng

Ia menari, ia ketawa


'Mantri polisi lihat kemari!

Bakar meja judi dengan uangku sepenuh saku

Wedana jangan ketawa sendiri!

Tangkaplah satu ronggeng berpantat padat

Bersama Jante Arkidam menari

Telah kusibak ruji besi’


Berpandangan wedana dan mantri polisi

Jante, jante Arkidam!

Telah dibongkarnya pegadaean malam tadi

Dan kini ia menari


'Aku, akulah Jante Arkidam

Siapa berani melangkah kutigas tubuhnya batang pisang

Tajam tanganku lelancip gobang

Telah kulipat rujibesi'


Diam ketakutan seluruh kalangan

Memandang kepada Jante bermata kembang sepatu

'Mengapa kalian memandang begitu?

Menarilah, malam senyampang lalu!'


Hidup kembali kalangan, hidup kembali perjudian

Jante masih menari berselempang selendang

Diteguknya sloki ke sembilan likur

Waktu mentari bangun, Jante tertidur


Kala terbangun dari mabuknya

Mantri polisi berdiri di sisi kiri:

'Jante, Jante Arkidam, Nusa Kambangan!'


Digisiknya mata yang sidik

'Mantri polisi, tindakanmu betina punya!

Membokong orang yang nyenyak'


Arkidam diam dirante kedua belah tangan

Dendamnya merah lidah ular tanah


Sebelum habis hari pertama

Jante pilin ruji penjara

Dia minggat meniti cahya


Sebelum tiba malam pertama

Terbenam tubuh mantri polisi di dasar kali

'Siapa lelaki menuntut bela?

Datanglah kala aku jaga!'


Teriaknya gaung dilunas malam

Dan Jante di atas jembatan


Tak ada orang yang datang

Jante hincit menikam kelam


Janda yang lakinya terbunuh di dasar kali

Jante datang ke pangkuannya


Mulut mana yang tak direguknya

Dada mana tak diperasnya?


Bidang riap berbulu hitam

Ruas tulangnya panjang-panjang

Telah terbenam beratus perempuan

Di wajahnya yang tegap


Betina mana yang tak ditaklukannya?

Mulutnya manis jeruk garut

Lidahnya serbuk kelapa puan

Kumisnya tajam sapu ijuk

Arkidam, Jante Arkidam


Teng tiga di tangsi polisi

Jante terbangun ketiga kali

Diremasnya rambut hitam janda bawahnya


Teng kelima di tangsi polisi

Jante terbangun dari lelapnya

Perempuan berkhianat, tak ada di sisinya

Berdegap langkah mengepung rumah

Didengarnya lelaki menantang:

'Jante, bangun! Kami datang jika kau jaga!'


'Datang saja yang jantan

Kutunggu di atas ranjang'


'Mana Jante yang berani

Hingga tak keluar menemui kami?'


‘Tubuh kalian batang pisang

Tajam tanganku lelancip pedang'

Menembus genteng kaca Jante berdiri di atas atap

Memandang hina pada orang yang banyak

Dipejamkan matanya dan ia sudah berdiri di atas tanah

'He, lelaki mata badak lihatlah yang tegas

Jante Arkidam ada di mana?'


Berpaling seluruh mata ke belakang

Jante Arkidam lolos dari kepungan

Dan masuk ke kebun tebu

‘Kejar jahanam yang lari!'

Jante dikepung lelaki satu kampung

Di lingkung kebun tebu mulai berbunga

Jante sembunyi di lorong dalamnya


'Keluar Jante yang sakti!'


Digelengkannya kepala yang angkuh

Sekejap Jante telah bersanggul


'Alangkah cantik perempuan yang lewat

Adakah ketemu Jante di dalam kebun?'


'Jante? Tak kusua barang seorang

Masih samar dilorong dalam'


'Alangkah eneng bergegas

Adakah yang diburu?'


'Jangan hadang jalanku

Pasar kan segera usai!'


Sesudah jauh Jante dari mereka

Kembali dijelmakan dirinya


'He, lelaki sekampung bermata dadu

Apa kerja kalian mengantuk di situ?'


Berpalingan lelaki ke arah Jante

Ia telah lolos dari kepungan


Kembali Jante diburu

Lari dalam gelap

Meniti muka air kali

Tiba di persembunyiannya


10. Contoh Puisi Balada BUNDA


Engkau adalah wanita

Yang sangat luar biasa…

Kasih sayangmu untukku,

Begitu besar sekali…

                Oh bunda….

                Engkaulah yang selalu merawatku…

                Menjagaku…

                Dan menyayangiku…

Kasih sayangmu untukku

Seperti sang surya

Yang menyinari dunia

Engkau tidak meminta balas budi

Apapun dariku…

                Bunda…

                Engkau sangat tulus merawatku

                Dari aku masih dikandunganmu

                Sampai aku dewasa…

Bunda…

Engkau sangat berarti bagiku

Tidak akan ada yang bisa menggantikanmu,

Dihatiku selamanya…


11. Puisi Balada Orang Tua

(Ma'rifatul Islamiyah)


Tangan yang dulu kekar dan

berwibawa

Kini telah keriput tanpa daya

Melukiskan roda kehidupan yang dijalaninya

Begitu keras dan penuh duka


Dia tetap menyunggingkan senyumnya

Meski kebahagiannya ditelan masa


Kini dia hanya duduk bersila

Nan slalu bersimbah air mata

Merindukan anak anaknya

Yang tengah sibuk dengan istananya


12. Puisi Balada Balosada


Balada tentang retak shang pena

berujung tumpul, serak melayani perasan

meja meja setubuhi aksara

makna terarbrasi oleh lorengnya moral


keramat

dan kau terjerat

akan mimpi yang kau beli

pohon beringin kau bonsai

tebus akan keperawanan jiwa


13. Balada Seorang Guru

Oleh : Halley Kawistoro


Tanah yang subur membentang

Alam yang indah menyapa

Di negara kita Indonesia

Laut yang luas tak berbatas

Gunung yang kokoh berdiri

Memberi tanda di setiap pulau Indonesia


Seorang sosok berhati mulia lahir di tiap-tiap waktu

Mengabdikan hidup tanpa ragu

Untuk membagikan Ilmu

Hadir di dalam kelas

Menghilangkan rasa was-was

Menghabiskan pikir yang terkuras

Sepulang di rumah dengan sisa beras


Menjadi jembatan dunia

Dengan segala indahnya cerita

Tentang abdi secara sukarela

Tentang bakti tidak bertanda jasa


Catatan waktu terus diburu

Menghadirkan masalah-masalah baru

Mendatangkan cerita pilu dari berbagai penjuru

Mengisahkan tentang perjuangan seorang guru


Bangsa ini besar karena guru bersedia hadir di tempat terpencil

Lalu mereka dilupa hingga terkucil.


Bangsa ini besar karena guru siap hadir di setiap waktu walau dalam getir

Lalu mereka kembali tidak terpikir, tersingkir dan terpinggir.

Satu dua berbuat Tak patut, Lalu semua guru ingin dituntut


Satu dua berbuat malu, lalu semua guru sama merasa pilu

Satu dua bertindak arogan, lalu semua guru merasa enggan

Satu dua berlaku bodoh, lalu semua guru di cemooh


Siapa yang bisa menyapa kami sebagai abdi yang berjasa

Siapa yang bertanggung jawab atas semua cerita ini

Siapa yang sanggup berkata guru sebagai sosok Tiada berguna

Siapa yang mampu berjanji bisa membahagiakan para guru kami


Ambil suara, tunjuk tangan lalu nyatakan kita bersama-sama

Untuk terus berbuat demi kemajuan bangsa.

Berbuatlah dan merasa bangga karena kita sangat berharga

Bernilai karena telah memberi tangga untuk meraih cita-cita

kepada semua peserta didik yang telah dibina.


Mari kita berbangga menjadi guru

Meninggalkan sebuah tanda

Untuk masa depan, karena kita sudah ada.

Untuk masa depan, karena kita bekerja nyata

Hingga mereka yang mencibir, merasa malu untuk berkata-kata

Dan mereka terbiasa untuk berujar sederhana “Terima Kasih Guru".


14. Balada Penantian 

W.S. Rendra


Gadis yang dilewati kendaraannya merenda

depan jendela menggantungkan harimuka dan

anggur hidupnya pada penantian lelaki

petualang yang jauh pada siapa dulu telah 

ia serahkan kendaraannya yang agung.

 

Janjinya kembali di Tahun Baru belum juga terpenuhi

(lelaki itu tak punya pos dan pangkalan)

 

ia menanti depan jendela, dilewati kendaraannya.

 

Kereta mati membawa ibunya, di belakangnya

tiga Tahun Baru pula tiba.

Usia sendiri meningkat juga di tiap pemunculan bulan muda.

 

Ia menanti depan jendela, terurai rambutnya.

 

Kail cinta membenan pada rabu

dilahirkan ke lubuk-lubuk yang dalam

tiada terlepas juga dan tetes darahnya

diulur kembali ke dada.

 

Ia menanti depan jendela, tetes hujan

merambat di kaca

 

Adik-adiknya sudah dulu ke alter,

dada diganduli bayi dan lelaki

lukanya menandingi dirinya dari tiap pinangan pulang sia-sia.

 

Ia menanti depan jendela, ketuaan 

mengintip pada kaca

 

Kandungan hatinya mengilukan jumlah kata

seperti kesigupan gua

sebuah rahasia hitam, apa kepercayaan apa dendam

ditatapnya ujung jalan, kaki langit yang sepi

menelan segala senyumnya.

ia menanti depan jendela,

rambutnya mengelabu juga.

 

Dendamnya telah dibalaskan pada tiap

lelaki yang ingin dirinya

sebuah demi sebuah khayal merajai dirinya

makin bersilang parit-parit di wajah,

beracun bulu matanya

tatapan dari matanya menggua membakar ujung jalan

Ia menanti tidak lagi oleh cinta.

 

Ia menanti di bawah jendela, dikubur

ditumbuhi bunga bertuba.

Dendamnya yang suci memaksanya menanti disitu

dikubur di bawah jendela.


15. Ballada Sumilah

(W.S. Rendra)


Tubuhnya lilin tersimpan di kerabda

Tapi halusnya putih pergi kembara

Datang yang berkabar bau kemboja

Dari sepotong bumi keramat di bukit

Makam dari bau kemenyan


Sumilah!

Rintihnya tersebar selebar tujuh desa

Dan di ujung setiap rintih diserunya

-Samijo! Samijo!

Bulan akan berkerut wajahnya

Dan angina takut nyuruki atap jerami

Seluruh kandungan malam pada tahu

Roh Sumilah meratap dikungkung rindunya

Pada roh Sumijo kekasihdengan belati pada mata.

Dan sepanjang malam terurai riwayat duka


Bagini mulanya:

Bila pucuk bamboo ngusapi wajah bulan

Ternak rebah dan bunda-bunda nepuki paha anaknya

Dengan kembang-kembang api jatuh peluru meriam pertama

Malam muntahkan serdadu Belanda dari utara

Tumpah darah lelaki

O kuntum-kuntum delima ditebas belato

Dan para pemuda beibukan hutan jati

Tertinggal gadis terbawa hijaunya warna sepi

Demi hati berumahkan tanah ibu

Dan pancuran tempat bercinta

Samijo berperang dan mewarnai malam

Dengan kuntum-kuntum darah

Perhitungan dimulai pada mesiu dan kelewang

Terkunci pintu jendela

Gadis-gadis tertinggal menaikkan kain dada

Ngeri mengepung hidup hari-hari

Segala perang adalah keturunan dendam

Sumber air pancar yang merah

Bebungan berwarna nafsu

Dinginnya angina pucuk pelor, dinginnya mata baja

Reruntuklah semua merunduk

Bahasa dan kata adalah batu yang dungu

Maka satu demi satu meringkas rumah-rumah jadi abu

Dan perawan-perawan menangisi malamnya tak ternilai

Kerna musuh tahu benar arti darah

Memberi minum dari sumber tumpah ruah

Nyawanya kijang diburu terengah-engah

Waktu siang mentari menyedap peluh

Dengan bongkok berjalan nenek suci Hassan Ali

Di satu semak menggumpal daging perawan

Maka diserunya bersama derasnya darah:


-Siapa kamu?

-Daku Sumilah daku mendukung duka!

Belanda berbulu itu membongkar pintu

Dikejar daku putar-putar sumur tapi kukibas dia

-Duhai diperkosanya dikau anak perawan!

-Belum lagi! Demi air daraku merah belum lagi!

Takutku punya dorongan tak tersangka

Tersungkur ia bersama nafsunya kesumur

-O tersobek kulitmu lembut berbungakan darah

Koyak-moyak bajumu muntahkan dadamu

Lenyaplah segala kerna tiada lagi kau pumya

Bunga yang terpitih dengan kelopak-kelopak sutra

-Belum lagi! Demi air daraku merah: belum lagi!


Demi berita noda teramat cepat karena angina sendiri

Di mulut tujuh desa terucap Sumilah dan nodanya

Dan demi berita noda teramat cepat karena angina sendiri

Noda Sumilah terpahat juga di hutan-hutan jati

Lelaki-lelaki letakkan bedil kelewang mengenangnya

Dan Samijo kerahkan segenap butir darah

Lebih setan dari segala kerbau jantan

Bila dukanya terkaca pada bulan keramik putih

Antara bebatang jati dengan rambut tergerai

Sumilah yang malang mendamba Samijonya

Menyuruk musang, burung gandil nyanyikan balada hitam

Satu tokoh menonggak di tempat luang


Dan berseru dengan nada api nyala:

-Berhenti! Sebut namamu!

Terhenti Sumilah serahkan diri ke batang rebah:

-Suaramu berkabar kau Samijo, Samijoku

Daku Sumilah yang malang, Sumilahmu

-Tiada kupunya Sumilah. Sumilahku mati!

-Belum lagi, Samijo! Aku masih dara!

Bulan keramik putih tanpa dara

Warna jingga apimu. Padamkan!

Demi selaput sutraku lembut: belum lagi!


Bulan keramik putih bagai pisau cukur

Sayati awan dan malam yang selalu meratap

Samijo menatap dan menatap amat tajamnya

-Samijo, ambil tetesan darahku pertama

Akan terkecap daraku putih, daramu seorang

Batang demi batang adalah balutan kesepian

Malam mengempa segala terperah sendat napas

Samijo menatap dan menatap amat tajamnya

-Samijo, hentikan penikaman pisau pandang matamu

Kau bantai daku bagai najis, mengorek dena yang tiada

Padamlah padam kemilau yang menuntut dari dendam


Warna pandangnya seolah ungkapan kutuk berkata:

-Jadilah perempuan mandul kerna busuk rahimmu

Jadilah jalang yang ngembara dari hampa ke dosa

Aku kutuki kau demi kata putus nenek moyang!

Tanpa omong dilepas tikaman pandang penghabisan

Lalu berpaling ia menghambur ke jantung hutan jati

Tertingga! Sumilah digayuti koyak-moyaknya

Sedihlah yang bercinta kerna pisah

Lebih sedihlah bila noda terbujur antaranya

Dan segalanya itu tak’kan padam

Kokok ayam jantan esoknya bukanlah tanda menang

Adalah ratap yang juga terbawa oleh kutilang

Karena warga desa jumpai mayat Samijo

Nemani guguran talok depan tangsi Belanda

Merataplah semua meratap

Kerna yang mati menggenggam dendam

Di katup rahang adalah kenekatan linglung tersia

Kerna dendamnya siksa air matanya terus kembara

Menatap kehadiran Sumilah, dinginya tanpa percaya

Dan Sumilah jadi gila terkempa dada oleh siksa

Gadis begitu putih jumpai ajalnya di palung sungai


Sumilah! Sumilah!

Tubuhnya lilin tersimpa di keranda

Tapi halusnya putih pergi kembara

Rintihnya tersebar selebar tujuh desa


Dan di ujung setiap rintih diserunya:

-Samijo! Samijo!

Matamu tuan begitu dingin dan kejam

Pisau baja yang mengorek noda dari dada

Dari tapak tanganmu angina napas neraka

Mendera hatiku berguling lepas dari rongga

Bulan jingga, telaga kepundan jingga

Hentikan, Samijo! Hentikan, ya tuan!


16. Puisi Balada Ibu yang dibunuh


Ibu musang di lindung pohon tua meliang

Bayinya dua ditinggal mati lakinya.


Bualan sabit terkait malam memberita datangnya

Waktu makan bayi-bayinya mungil sayang.


Matanya berkata pamitan, bertolaklah ia

Dirasukinya dusun-dusun, semak-semak, taruhan harian atas nyawa.


Burung kolik menyanyikan berita panas dendam warga desa

Menggetari ujung bulu-bulunya tapi dikibaskannya juga.


Membubung juga nyanyi kolik sampai mati tiba-tiba

Oleh lengking pekik yang lebih menggigitkan pucuk-pucuk daun

Tertangkap musang betina dibunuh esok harinya.


Tiada pulang ia yang mesti rampas rejeki hariannya

Ibu yang baik, matinya baik, pada bangkainya gugur pula dedaun tua.


Tiada tahu akan meraplah kolik meratap juga

Dan bayi-bayinya bertanya akan bunda pada angin tenggara


Lalu satu ketika di pohon tua meliang

Matilah anak-anak musang, mati dua-duanya.


Dan jalannya semua peristiwa

Tanpa dukungan satu dosa, tanpa.


17. Perempuan yang Tergusur


Hujan lebat turun di hulu subuh

disertai angin gemuruh

yang menerbangkan mimpi

yang lalu tersangkut di ranting pohon


Aku terjaga dan termangu

menatap rak buku-buku

mendengar hujan menghajar dinding

rumah kayuku.

Tiba-tiba pikiran mengganti mimpi

dan lalu terbayanglah wajahmu,

wahai perempupan yang tergusur!


Tanpa pilihan

ibumu mati ketika kamu bayi

dan kamu tak pernah tahu siapa ayahmu.

Kamu diasuh nenekmu yang miskin di desa.

Umur enam belas kamu dibawa ke kota

oleh sopir taxi yang mengawinimu.

Karena suka berjudi

ia menambah penghasilan sebagai germo.


Ia paksa kamu jadi primadona pelacurnya.

Bila kamu ragu dan murung,

lalu kurang setoran kamu berikan,

ia memukul kamu babak belur.

Tapi kemudian ia mati ditembak tentara

ketika ikut demontrasi politik

sebagai demonstran bayaran.


Sebagai janda yang pelacur

kamu tinggal di gubuk tepi kali

dibatas kota

Gubernur dan para anggota DPRD

menggolongkanmu sebagai tikus got

yang mengganggu peradaban.

Di dalam hukum positif tempatmu tidak ada.

Jadi kamu digusur.


Didalam hujuan lebat pagi ini

apakah kamu lagi berjalan tanpa tujuan

sambhil memeluk kantong plastik

yang berisi sisa hartamu?

Ataukah berteduh di bawah jembatan?


Impian dan usaha

bagai tata rias yang luntur oleh hujan

mengotori wajahmu.

kamu tidak merdeka.

Kamu adalah korban tenung keadaan.

Keadilan terletak diseberang highway yang bebahaya

yang tak mungkin kamu seberangi.


Aku tak tahu cara seketika untuk membelamu.

Tetapi aku memihak kepadamu.

Dengan sajak ini bolehkan aku menyusut keringat dingin

di jidatmu?


O,cendawan peradaban!

O, teka-teki keadilan!


Waktu berjalan satu arah saja.

Tetapi ia bukan garis lurus.

Ia penuh kelokan yang mengejutkan,

gunung dan jurang yang mengecilkan hati,

Setiap kali kamu lewati kelokan yang berbahaya

puncak penderitaan yang menyakitkan hati,

atau tiba di dasar jurang yang berlimbah lelah,

selalu kamu dapati kedudukan yang tak berubah,

ialah kedudukan kaum terhina.


Tapi aku kagum pada daya tahanmu,

pada caramu menikmati setiap kesempatan,

pada kemampuanmu berdamai dengan dunia,

pada kemampuanmu berdamai dengan diri sendiri,

dan caramu merawat selimut dengan hati-hati.


Ternyata di gurun pasir kehidupan yang penuh bencana

semak yang berduri bisa juga berbunga.

Menyaksikan kamu tertawa

karena melihat ada kelucuan di dalam ironi,

diam-diam aku memuja kamu di hati ini.


18.  Contoh Puisi Balada Singkat: Balada Peluru

(Wiji Thukul)


vdi mana moncong senapan itu?


aku pengin meledak sekaligus jadi peluru

mencari jidatmu mengarah mampus-Mu

akan kulihat nyawa-Mu yang terbang

dan kukejar-kejar dengan nyawaku sendiri

agar tahu rumah-Mu

aku rela bunuh diri

tentu saja setelah tahu ke mana pulang-Mu


tetapi peluru yang mencari jidat-Mu itu

hanya ketemu mata-Mu yang menyihir

sim salabim

kembali kau pada wujudmu asli!

dan memang tidak akan pernah ada yang akan

membawakan

senapan

untukku

apalagi

jidat

mimpi indah ini

mimpi indah ini

mengapa kekal?


19. Balada Pak Bejo

(Wiji Thukul)


pak Bejo membentak bininya:

- hari ini sepi!

mbok Bejo tak mau kalah:

- anak-anak minta baju seragam!

pak Bejo juga:

- aku sudah keliling kota

- aku sudah kerja keras

- tapi kalah dengan bis kota

- hari ini aku cuma dapat uang setoran

mbok Bejo tak mau mendengar

mbok Bejo tetap marah

mbok Bejo terus ngomel

pak Bejo kesal

nyaut sarung kabur ke warung

nenggak ciu-bekonang

minum segelas

lalu segelas lagi

kemudian hanyut dalam gending Sarung Jagung

bersama pak Kromo

bersama pak Wiryo

bersama pak Kerto

njoget tertawa mabuk


benak yang sumpeg dikibaskan

lepas bebas

lupa anak lupa hutang

lupa sewa rumah

lupa bayaran sekolah

lepas bebas

lenggak-lenggok gumpalan awan

bersama bintang-bintang


ketika bulan sudah miring

pak Bejo mendengkur di depan pintu

sampai terang pagi

lalu istri melotot lagi


20. Balada Prisma

(Wiji Thukul)


prisma di dalam cermin yang bercahaya

jangan ditatap lama-lama

nanti bisa gila


sebaiknya ketika bangun tidur

atau di setiap doa

tataplah matahari

lalu pejamkan mata

siapa pencipta alam semesta


Baca juga: Contoh Puisi Baru: Balada, Elegi, Roman, Ode, Himne, Satire


Demikianlah artikel kali ini tentang contoh puisi balada terkenal oleh WS Rendra, Wiji Thukul dan penyair lainnya. Semoga bermanfaat bagi Anda. Sekian dan terima kasih.

0 comments